Setelah Tiga Hari
Sekelompok orang yang kini tengah berlari-larian
menuju pembatas jalan itu semakin membuat Arpa tertengun bingung bercampur
heran. Apalagi dengan posisinya saat ini, dimana dia sekarang, apa yang telah
terjadi, mengapa orang-orang tersebut sampai berlari-larian. Semua itu menjadi
tanya yang tak jelas dihatinya. Terdiam sejenak, dia melupakan seseorang..
“Dimana
dia?” gumamnya sendiri..
Ditengah
keramaian itu dia menemukan sosok yang dicarinya dari tadi. Seorang lelaki tua
yang memakai seragam biru, barambut ikal yang sudah mulai memutih itu, kini
tengah berada ditengah jalan.
“Apa
yang bapak lakukan ditengah jalan begini?” Tanya Arpa menghampiri.
“Entahlah
bapak juga tidak tau nak.” Jawabnya.
Semakin
diributkan dengan suara teriakkan orang-orang yang tengah berkumpul dipembatas
jalan itu, membuat Arpa ingin tau apa yang sedang terjadi. Dia mencoba bertanya
pada orang-orang yang tengah menuju tempat itu, namun tak satupun yang mau
menghiraukannya.
“Apa
yang sedang terjadi disini pak?” Tanyanya pada lelaki tua itu.
“Sepertinya
sudah terjadi kecelakaan disini .” Jelasnya singkat.
“Kecelakaan!
Kasian sekali orang tersebut.” Kata Arpa.
Tanpa
memperdulikan perkataan Arpa, lelaki tersebut seperti bingung mencari sesuatu.
“Bapak
mencari apa?”
“Taksi
bapak! Kemana ya?”
Heran,
apalagi ini. Semua yang terjadi hari ini benar-benar membuat Arpa bingung. Ada
yang aneh dengan hari ini.
“Bapak
ini bagaimana sih? Bukannya tadi bapak yang mengendarainya, harusnya bapak tahu
dimana taksi itu sekarang.”
“Haaahh,
itulah masalahnya. Bapak lupa dimana memarkirnya.”
“Yah,
bagaimana saya bisa melanjutkan perjalanannya saya. Aduh bapak ini
bagaimana sih.” Tanyanya heran.
“Meskipun
taksinya ketemu sekarang, namun kita tetap saja tak bisa melanjutkan perjalan
kita nak.” Jelasnya.
Arpa
jengkel sekali, namun apa yang dikatakan bapak itu ada benarnya juga. Meskipun
taksi itu ketemu, namun jalanan terlalu macet untuk melanjutkan perjalanannya
akibat kecelakaan yang terjadi hari ini. Akhirnya, dia memutuskan untuk
melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki. Terik matahari tidak menjadi
penghalang untuk melanjutkan niatnya. Apalagi mengingat apa yang telah
dikatakan oleh ayahnya tadi pagi, serasa ingin segera dia meninggalkan dan
menjauhi kota
tempat tinggalnya ini. Arpa tahu, niatnya terbilang sangat nekat dan berisiko.
Namun dia sudah siap untuk menerima semuanya, dia juga sudah siap untuk
menerima kalau dia tidak bisa melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih
tinggi karena telah berani menentang ayahnya.
Ayah,
ibu tolong maafkan aku. Tak bermaksud aku menyakiti hati kalian. Penyesalan itu selalu menyelimuti
hati Arpa, namun niatnya untuk menjadi pribadi yang lebih mandiri telah
mengalahkan segalanya.
“Aku harus buktikan pada mereka,
terutama ayah. Aku bisa mandiri meskipun tanpa mereka, aku tak mau terus
bergantung pada mereka karna aku sudah besar. Aku mau, akulah yang menentukan
sendiri jalan hidupku.” Gumam Arpa untuk menguatkan tekadnya.
Tidak
terasa sudah cukup jauh Arpa berjalan, disebuah pohon beringin yang sangat
rindang dia berhenti sejenak untuk melepas lelah. Telihat olehnya, sepasang
kekasih yang sedang mengobrol asyik sampai-sampai tak melihat keberadaan Arpa.
Ada sedikit rasa iri dihatinya melihat apa yang mereka lakukan, serasa
terlintas kembali kenangan indah yang pernah dilewati Arpa bersama Rista yang
kini telah menjadi mantan kekasihnya itu. Arpa tak sengaja mendengar sebuah
pembicaraan dari sepasang kekasih.
“Aila,
seandainya bila nanti aku yang dipanggil oleh sang pencipta duluan. Apa
sekiranya yang akan kamu lakukan?” Tanya lelaki itu pada kekasihnya.
“Kamu
kok ngomong kayak begitu sih, aku ngak suka kamu ngomong hal itu lagi.” Jawab
sang kekasih kesal.
“Jangan
marah dong. Itukan hanya seandainya, aku hanya ingin tahu apa yang akan kamu
lakukan bila saja aku sudah tiada?” Tanya lelaki itu lagi.
“Seandainya
itu benar-benar terjadi, aku ingin menyusulmu, pokoknya aku tak ingin kamu
pergi meninggalkan aku sendirian. Aku hanya mau bersamamu selamanya.” Jawab
gadis itu pada kekasihnya.
“Benarkah?”
Tanya lelaki itu tak percaya.
“Iya,
aku benar-benar tak ingin berpisah darimu selamanya.” Jawab sang gadis.
Mendengar
pembicaran itu, Arpa menunduk. Dilepaskannya tas ransel yang sudah sedari tadi
menjadi beban dipundaknya itu, pada saku bagian depan tasnya yang cukup penuh
oleh baju-baju itu. Dia mengeluarkan sebuah benda yang cukup tebal berbentuk
segi empat yang terlihat seperti pas foto berwarna biru bermotif, lalu
mengelusnya.
“Andai
saja sekarang kita masih bersama, aku juga ingin seperti mereka. Aku ingin
selalu bersamamu, aku ingin kita melewati hari-hari kita bersama-sama.
Sejujurnya aku masih sayang padamu, Rista.” Sebuah kalimat yang
bersumber dari hati keluar
dari mulut Arpa.
Asyik
dalam lamunan, tiba-tiba sepasang kekasih itu berjalan kearahnya. Arpa langsung
berdiri, rasa takut menghampiri dirinya. Dia takut ketahuan telah mendengar
pembicaraan mereka.
Prraakkk.
“Aduh,
hati-hati dong.” Kata Arpa emosi.
“Haahh,
beneran ni. Aku mimpi kali.” Arpa terkejut sambil memukul-mukul pipinya.
J
Senja telah datang, Arpa berjalan menyusuri jalan
aspal yang kini mulai sepi tanpa arah dan tujuan yang jelas. Ia ingin pergi
ketempat pamannya, namun dia yakin ayahnya pasti akan datang menyusul dan
memaksanya untuk kembali pulang. Bila dia pulang, pasti ayahnya akan tetap
memaksa dia melanjutkan sekolahnya diluar negeri untuk mempelajari semua yang
hal yang berbau bisnis ayahnya. Yang menurut Arpa sangat bertolak
belakang dengan keinginannya untuk mandiri dan tidak ingin
bergantung
pada kedua orang tuanya.
Disebuah
pohon rindang yang terletak ditaman kota, Arpa duduk untuk melepas lelah dan
dia tertidur. Indah terasa dia bermimpi. Dalam
mimpinya, ia seperti sedang duduk disebuah kursi panjang yang terletak
ditengah-tengah indahnya padang ilalang. Pohon akasia yang rimbun menjadi
peneduh satu-satunya dari pancaran mentari senja, angin yang berhembus
sepoi-sepoi membuatnya serasa berada dipantai. Sesaat Arpa mulai terlelap.
“Arpa.”
Suara lemah lembut memanggil dirinya, namun ia tak segera
bangun. Sulit rasanya membuka mata yang telah dimanjakan kenikmatan yang
ditawarkan alam kepadanya untuk beristirahat.
“Arpa.”
Kini Arpa merasakan sepasang tangan ini, telah melingkari leher Arpa. Hembusan nafasnya, dapat Arpa rasakan dengan jelas. Arpa ingin segera membuka mata. Namun belum sempat itu dilakukanya, sebuah kecupan lembut mendarat dikeningnya.
Kalimat terucap dari seseorang yang kini ada dihadapanya, namun kalimat yang diucapkan berulang-ulang itu semakin terdengar menjauh. Arpa langsung membuka matanya. Namun ia segera tersadar bahwa tak ada seorangpun yang berada di sekitarnya. Ya, dia hanya bermimpi. Tangan Arpa langsung mengusap keningnya, dan langsung terpekik dengan apa yang teraba oleh tangannya.
Pusing, sakit, mulai terasa menyerang kepalanya. Arpa berdiri, dia tahu ini semua dia rasakan mungkin karena rasa lelah yang ada pada dirinya. Matahari sudah tak bersinar lagi, awan juga sudah mulai berubah warna menjadi hitam. Lampu-lampu taman kotapun sudah menerangi jalanan, ditambah indahnya kelap-kelip bintang. Arpa sadar ini sudah malam, dia harus segera mencari tempat untuk beristirahat. Langkahnya tiba-tiba terhenti, dipertajam pendengaranya untuk memastikan apa yang ia dengar. Suara tangis terdengar dengan jelas oleh telinga Arpa. Dicarinya sumber suara tersebut, dan...
Arpa merasa senang karena dapat menenangkan teman satu
sekolah yang sekaligus menjadi sahabat mantan kekasih Arpa ini untuk tak lagi
menangis. Isma adalah sahabat Rista yang sekaligus menjadi narasumber bagi Arpa
dalam mencari informasi mengenai Rista. Isma adalah teman yang sangat baik, dia
juga adalah pendengar yang baik bagi Arpa untuk meluapkan semua masalah yang
sedang dihadapinya baik masalah keluarga maupun masalahnya bersama Rista.
Sebelum bertemu Rista, Arpa sudah mengenal Isma terlebih dahulu. Berteman
dengannya sangat menyenangkan, dia sangat baik, dia juga lucu, sedikit cerewet
bagi orang yang sudah dekat padanya, dan juga merupakan sosok yang pendiam bagi
orang yang belum mengenalnya. Namun dia adalah orang yang cuek, terutama bagi
orang yang tak pernah dikenalnya. Arpa ingat sekali waktu itu, saat Arpa baru
masuk menjadi seorang murid sekolah SMA dan begitu juga Isma. Arpa tidak
sengaja menyenggol tangan Isma, namun tanpa mau tahu perbuatan Arpa disengaja
atau tidak. Isma langsung menumpahkan segelas es teh dimuka Arpa. Arpa yang
berniat untuk meminta maaf, langsung mengurungkan niatnya. Sederet maki-an,
dikeluarkannya untuk Arpa. Kontan saja Arpa marah, ia mencoba menjelaskan bahwa
dia sebenarnya tak sengaja. Namun Isma sama sekali tak mau mendengarnya, sejak
saat itu Arpa jadi enggan untuk berteguran dengannya begitu pula sebaliknya.
Keadaan berubah, saat Arpa jatuh hati pada seorang gadis cantik berambut
panjang yang menjadi idaman Arpa.
Ya, Arpa jatuh hati pada Rista yang sekaligus sahabat
Isma. Berbagai rintangan pernah dilalui Arpa untuk mendapatkan Rista termasuk
menghadapi Isma yang menantang habis-habisan hubungan Arpa dan Rista, karena
menurut Isma Arpa itu tidak pantas pacaran dengan Rista. Seiring berlalunya
waktu, akhirnya Isma bisa menerima juga hubungan itu. Isma adalah orang yang
tak pernah bersedih, namun melihatnya kali ini. Arpa seperti tak percaya jika
itu benar-benar Isma.
“Aku mencintaimu.” Suara Isma memecah lamunan Arpa.
Arpa menoleh kearah Isma, seperti tak percaya dengan apa
yang didengarnya. Isma mengeluarkan selembar kertas berwarna merah muda
bertulisan. Membaca kertas itu Isma kembali menangis. Tak sengaja mata Arpa
tertuju pada pita biru berbentuk bunga kecil diujung kertas yang kini dipeluk
Isma.
“Heh,
yang ngambil ini duluankan aku.”
“Jadi
cewek tu harus ngalah dong.” Teriak Arpa tak mau kalah.
“Bukannya
kebalik, kamu tu yang harusnya ngalah. Jadi cowok kok egois banget sih, ngak
mau ngalah ama cewek.” Celetuk Isma.
“Yee,
emang kamu cewek?” ejek Arpa.
“Apa
kamu bilang?! Kamu udah bosan hidup ya?” kata Isma sambil mengepal-ngepalkan
tangannya, siap melayangkan tinjunya ke wajah Arpa.
“Eeiiitttzz,
jadi cewek kok kasar banget sih.” Arpa coba untuk mengelak.
“Masalah
buat mu?! Dasar Banci.”
“Yeee,
sembarangan. Mau bukti aku bukan banci?”
“Ngak
perlu.” Ucap Isma sembari meninggalkan Arpa yang jengkel dibilang banci. Bersambung...