Rabu, 03 Oktober 2012

Cerpen



Setelah Tiga Hari


Sekelompok orang yang kini tengah berlari-larian menuju pembatas jalan itu semakin membuat Arpa tertengun bingung bercampur heran. Apalagi dengan posisinya saat ini, dimana dia sekarang, apa yang telah terjadi, mengapa orang-orang tersebut sampai berlari-larian. Semua itu menjadi tanya yang tak jelas dihatinya. Terdiam sejenak, dia melupakan seseorang..

“Dimana dia?” gumamnya sendiri..

                                           

Ditengah keramaian itu dia menemukan sosok yang dicarinya dari tadi. Seorang lelaki tua yang memakai seragam biru, barambut ikal yang sudah mulai memutih itu, kini tengah berada ditengah jalan.

“Apa yang bapak lakukan ditengah jalan begini?” Tanya Arpa menghampiri.

“Entahlah bapak juga tidak tau nak.” Jawabnya.


Semakin diributkan dengan suara teriakkan orang-orang yang tengah berkumpul dipembatas jalan itu, membuat Arpa ingin tau apa yang sedang terjadi. Dia mencoba bertanya pada orang-orang yang tengah menuju tempat itu, namun tak satupun yang mau menghiraukannya.

“Apa yang sedang terjadi disini pak?” Tanyanya pada lelaki tua itu.

“Sepertinya sudah terjadi kecelakaan disini .” Jelasnya singkat.

“Kecelakaan! Kasian sekali orang tersebut.” Kata Arpa.

Tanpa memperdulikan perkataan Arpa, lelaki tersebut seperti bingung mencari sesuatu.

“Bapak mencari apa?”

“Taksi bapak! Kemana ya?”

Heran, apalagi ini. Semua yang terjadi hari ini benar-benar membuat Arpa bingung. Ada yang aneh dengan hari ini.

“Bapak ini bagaimana sih? Bukannya tadi bapak yang mengendarainya, harusnya bapak tahu dimana taksi itu sekarang.”

“Haaahh, itulah masalahnya. Bapak lupa dimana memarkirnya.”

“Yah, bagaimana saya bisa melanjutkan  perjalanannya saya. Aduh bapak ini bagaimana sih.” Tanyanya heran.

“Meskipun taksinya ketemu sekarang, namun kita tetap saja tak bisa melanjutkan perjalan kita nak.” Jelasnya.


Arpa jengkel sekali, namun apa yang dikatakan bapak itu ada benarnya juga. Meskipun taksi itu ketemu, namun jalanan terlalu macet untuk melanjutkan perjalanannya akibat kecelakaan yang terjadi hari ini. Akhirnya, dia memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki. Terik matahari tidak menjadi penghalang untuk melanjutkan niatnya. Apalagi mengingat apa yang telah dikatakan oleh ayahnya tadi pagi, serasa ingin segera dia meninggalkan dan menjauhi kota tempat tinggalnya ini. Arpa tahu, niatnya terbilang sangat nekat dan berisiko. Namun dia sudah siap untuk menerima semuanya, dia juga sudah siap untuk menerima kalau dia tidak bisa melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi karena telah berani menentang ayahnya.

Ayah, ibu tolong maafkan aku. Tak bermaksud aku menyakiti hati kalian. Penyesalan itu selalu menyelimuti hati Arpa, namun niatnya untuk menjadi pribadi yang lebih mandiri telah mengalahkan segalanya.

Aku harus buktikan pada mereka, terutama ayah. Aku bisa mandiri meskipun tanpa mereka, aku tak mau terus bergantung pada mereka karna aku sudah besar. Aku mau, akulah yang menentukan sendiri jalan hidupku.” Gumam Arpa untuk menguatkan tekadnya.


Tidak terasa sudah cukup jauh Arpa berjalan, disebuah pohon beringin yang sangat rindang dia berhenti sejenak untuk melepas lelah. Telihat olehnya, sepasang kekasih yang sedang mengobrol asyik sampai-sampai tak melihat keberadaan Arpa. Ada sedikit rasa iri dihatinya melihat apa yang mereka lakukan, serasa terlintas kembali kenangan indah yang pernah dilewati Arpa bersama Rista yang kini telah menjadi mantan kekasihnya itu. Arpa tak sengaja mendengar sebuah pembicaraan dari sepasang kekasih.

“Aila, seandainya  bila nanti aku yang dipanggil oleh sang pencipta duluan. Apa sekiranya yang akan kamu lakukan?” Tanya lelaki itu pada kekasihnya.

“Kamu kok ngomong kayak begitu sih, aku ngak suka kamu ngomong hal itu lagi.” Jawab sang kekasih kesal.

“Jangan marah dong. Itukan hanya seandainya, aku hanya ingin tahu apa yang akan kamu lakukan  bila saja aku sudah tiada?” Tanya lelaki itu lagi.

“Seandainya itu benar-benar terjadi, aku ingin menyusulmu, pokoknya aku tak ingin kamu pergi meninggalkan aku sendirian. Aku hanya mau bersamamu selamanya.” Jawab gadis itu pada kekasihnya.

“Benarkah?” Tanya lelaki itu tak percaya.

“Iya, aku benar-benar tak ingin berpisah darimu selamanya.” Jawab sang gadis.


Mendengar pembicaran itu, Arpa menunduk. Dilepaskannya tas ransel yang sudah sedari tadi menjadi beban dipundaknya itu, pada saku bagian depan tasnya yang cukup penuh oleh baju-baju itu. Dia mengeluarkan sebuah benda yang cukup tebal berbentuk segi empat yang terlihat seperti pas foto berwarna biru bermotif, lalu mengelusnya.

“Andai saja sekarang kita masih bersama, aku juga ingin seperti mereka. Aku ingin selalu bersamamu, aku ingin kita melewati hari-hari kita bersama-sama. Sejujurnya aku masih sayang padamu, Rista.” Sebuah kalimat yang bersumber dari hati keluar dari mulut Arpa.


Asyik dalam lamunan, tiba-tiba sepasang kekasih itu berjalan kearahnya. Arpa langsung berdiri, rasa takut menghampiri dirinya. Dia takut ketahuan telah mendengar pembicaraan mereka.

Prraakkk.

“Aduh, hati-hati dong.” Kata Arpa emosi.
Arpa yang hampir marah itu mengambil pas foto yang terjatuh, karena tersenggol tangan lelaki tadi.
             “Eh kalian, jadi orang kalau salah tu minta maaf dong. Jangan main pergi aja.” Arpa kesal, memanggil mereka.
Sepasang kekasih itu menengok kearah Arpa, namun mereka segera berjalan kembali. Arpa menjadi jengkel karena merasa tak dianggap keberadaannya itu duduk kembali. Dilihatnya foto Rista yang diyakininya sudah pecah karena terjatuh tadi.

“Haahh, beneran ni. Aku mimpi kali.” Arpa terkejut sambil memukul-mukul pipinya.
Dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Aneh, itulah yang ada dipikiranya. Foto itu jelas-jelas terjatuh dilantai yang terlapisi aspal keras, namun kenapa foto ini tidak pecah bahkan tak tergores apapun? Itu merupakan sesuatu aneh yang terjadi hari ini setelah kejadian tadi pagi. Namun setelah dia pikir-pikir lagi, mungkin itu hanya hal aneh menurut dirinya saja.

J

Senja telah datang, Arpa berjalan menyusuri jalan aspal yang kini mulai sepi tanpa arah dan tujuan yang jelas. Ia ingin pergi ketempat pamannya, namun dia yakin ayahnya pasti akan datang menyusul dan memaksanya untuk kembali pulang. Bila dia pulang, pasti ayahnya akan tetap memaksa dia melanjutkan sekolahnya diluar negeri untuk mempelajari semua yang hal yang berbau bisnis ayahnya. Yang menurut Arpa sangat bertolak belakang dengan keinginannya untuk mandiri dan tidak ingin bergantung pada kedua orang tuanya.


Disebuah pohon rindang yang terletak ditaman kota, Arpa duduk untuk melepas lelah dan dia tertidur. Indah terasa dia bermimpi. Dalam mimpinya, ia seperti sedang duduk disebuah kursi panjang yang terletak ditengah-tengah indahnya padang ilalang. Pohon akasia yang rimbun menjadi peneduh satu-satunya dari pancaran mentari senja, angin yang berhembus sepoi-sepoi membuatnya serasa berada dipantai. Sesaat Arpa mulai terlelap.

“Arpa.”

Suara lemah lembut memanggil dirinya, namun ia tak segera bangun. Sulit rasanya membuka mata yang telah dimanjakan kenikmatan yang ditawarkan alam kepadanya untuk beristirahat.

“Arpa.”
Panggilan kedua yang ditujukan untuknya, Arpa masih enggan untuk membuka mata. Masih dalam kedua mata yang tertutup rapat, Arpa merasakan sepasang tangan halus menyentuh kedua matanya lalu turun membentuk garis lurus menelusuri pipinya. Sentuhan halus itu lalu terasa disekitar dagunya. Elus-an lembut dari tangan halus itu, membuat Arpa semakin tak bisa menahan rasa ngantuknya. Sesaat Arpa dapat mencium aroma mawar tersebar diudara dan sepertinya ia pernah mencium aroma yang diyakininya adalah sebuah parfum milik seorang ‘wanita’. Ya, mungkin itu parfum yang digunakannya. Batin Arpa.

         Kini Arpa merasakan sepasang tangan ini, telah melingkari leher Arpa. Hembusan nafasnya, dapat Arpa rasakan dengan jelas. Arpa ingin segera membuka mata. Namun belum sempat itu dilakukanya, sebuah kecupan lembut mendarat dikeningnya.
         “Aku sangat menyayangimu, meskipun kamu tidak pernah menyadari semua itu. Aku mencintaimu.”

Kalimat terucap dari seseorang yang kini ada dihadapanya, namun kalimat yang diucapkan berulang-ulang itu semakin terdengar menjauh. Arpa langsung membuka matanya. Namun ia segera tersadar bahwa tak ada seorangpun yang berada di sekitarnya. Ya, dia hanya bermimpi. Tangan Arpa langsung mengusap keningnya, dan langsung terpekik dengan apa yang teraba oleh tangannya.
         “Hah! Inikan...” Arpa tak meneruskan perkataannya, diam. Dia berpikir sebentar.
         “Inikan bekas lipbloss.” Kata Arpa tak percaya.
         “Apa ini benar-bener terjadi? Lalu siapa dia? Dan dimana dia?” tanya Arpa bingung.

         Pusing, sakit, mulai terasa menyerang kepalanya. Arpa berdiri, dia  tahu ini semua dia rasakan mungkin karena rasa lelah yang ada pada dirinya. Matahari sudah tak bersinar lagi, awan juga sudah mulai berubah warna menjadi hitam. Lampu-lampu taman kotapun sudah menerangi jalanan, ditambah indahnya kelap-kelip bintang. Arpa sadar ini sudah malam, dia harus segera mencari tempat untuk beristirahat. Langkahnya tiba-tiba terhenti, dipertajam pendengaranya untuk memastikan apa yang ia dengar. Suara tangis terdengar dengan jelas oleh telinga Arpa. Dicarinya sumber suara tersebut, dan...
         “Isma.” Panggil Arpa karena kenal dengan pemilik suara tangis itu.
Dia menoleh, namun seperti tak melihat ada seseorang disampingnya. Dia kembali menangis. Melihat hal itu Arpa menjadi bingung, apa yang harus dilakukannya.
         “Hentikanlah tangismu Isma.” Arpa mencoba menenangkan.
Isma masih menangis, namun sesaat kemudian dia menghentikan tangisnya.

Arpa merasa senang karena dapat menenangkan teman satu sekolah yang sekaligus menjadi sahabat mantan kekasih Arpa ini untuk tak lagi menangis. Isma adalah sahabat Rista yang sekaligus menjadi narasumber bagi Arpa dalam mencari informasi mengenai Rista. Isma adalah teman yang sangat baik, dia juga adalah pendengar yang baik bagi Arpa untuk meluapkan semua masalah yang sedang dihadapinya baik masalah keluarga maupun masalahnya bersama Rista. Sebelum bertemu Rista, Arpa sudah mengenal Isma terlebih dahulu. Berteman dengannya sangat menyenangkan, dia sangat baik, dia juga lucu, sedikit cerewet bagi orang yang sudah dekat padanya, dan juga merupakan sosok yang pendiam bagi orang yang belum mengenalnya. Namun dia adalah orang yang cuek, terutama bagi orang yang tak pernah dikenalnya. Arpa ingat sekali waktu itu, saat Arpa baru masuk menjadi seorang murid sekolah SMA dan begitu juga Isma. Arpa tidak sengaja menyenggol tangan Isma, namun tanpa mau tahu perbuatan Arpa disengaja atau tidak. Isma langsung menumpahkan segelas es teh dimuka Arpa. Arpa yang berniat untuk meminta maaf, langsung mengurungkan niatnya. Sederet maki-an, dikeluarkannya untuk Arpa. Kontan saja Arpa marah, ia mencoba menjelaskan bahwa dia sebenarnya tak sengaja. Namun Isma sama sekali tak mau mendengarnya, sejak saat itu Arpa jadi enggan untuk berteguran dengannya begitu pula sebaliknya. Keadaan berubah, saat Arpa jatuh hati pada seorang gadis cantik berambut panjang yang menjadi idaman Arpa.


Ya, Arpa jatuh hati pada Rista yang sekaligus sahabat Isma. Berbagai rintangan pernah dilalui Arpa untuk mendapatkan Rista termasuk menghadapi Isma yang menantang habis-habisan hubungan Arpa dan Rista, karena menurut Isma Arpa itu tidak pantas pacaran dengan Rista. Seiring berlalunya waktu, akhirnya Isma bisa menerima juga hubungan itu. Isma adalah orang yang tak pernah bersedih, namun melihatnya kali ini. Arpa seperti tak percaya jika itu benar-benar Isma. 

“Aku mencintaimu.” Suara Isma memecah lamunan Arpa.


Arpa menoleh kearah Isma, seperti tak percaya dengan apa yang didengarnya. Isma mengeluarkan selembar kertas berwarna merah muda bertulisan. Membaca kertas itu Isma kembali menangis. Tak sengaja mata Arpa tertuju pada pita biru berbentuk bunga kecil diujung kertas yang kini dipeluk Isma.

“Heh, yang ngambil ini duluankan aku.”

“Jadi cewek tu harus ngalah dong.” Teriak Arpa tak mau kalah.

“Bukannya kebalik, kamu tu yang harusnya ngalah. Jadi cowok kok egois banget sih, ngak mau ngalah ama cewek.” Celetuk Isma.

“Yee, emang kamu cewek?” ejek Arpa.

“Apa kamu bilang?! Kamu udah bosan hidup ya?” kata Isma sambil mengepal-ngepalkan tangannya, siap melayangkan tinjunya ke wajah Arpa.

“Eeiiitttzz, jadi cewek kok kasar banget sih.”  Arpa coba untuk mengelak.

“Masalah buat mu?! Dasar Banci.”

“Yeee, sembarangan. Mau bukti aku bukan banci?”

“Ngak perlu.” Ucap Isma sembari meninggalkan Arpa yang jengkel dibilang banci. Bersambung...